Seiring dengan berjalannya waktu, sejak pelaksanaan pilkada langsung tahun 2005 jumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berlatar belakang dinasti politik meningkat signifikan.
-
Pilkada 2020:
Ada 159 calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang berlatar belakang dinasti. Dari jumlah tersebut, 72 diantaranya berhasil keluar sebagai pemenang dalam pilkada serentak tahun 2020, termasuk putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, yang berhasil menjadi Walikota Surakarta, dan menantu sang presiden, Bobby Arifin Nasution, yang kemudian menjadi Walikota Medan. Kemenangan Gibran dan Bobby dalam perhelatan pilkada 2020 menjadi catatan sejarah karena, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, ada anggota keluarga presiden yang sedang menjabat berkompetisi dan menang dalam pilkada. -
Pilkada 2024:
Dalam pilkada serentak tahun 2024, ada 659 kandidat kepala daerah atau wakil kepala daerah yang berlatar belakang dinasti. 263 diantaranya kemudian menjadi pemenang pilkada. Mereka yang berhasil keluar sebagai pemenang pilkada 2024 tersebar di 227 daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan kata lain, lebih dari 41% daerah yang menyelenggarakan pilkada tahun 2024 saat ini ada dalam kendali politisi dinasti. -
Legislatif Nasional:
Di DPR, menurut hasil penelitian Ella Prihatini dan Iim Halimatu’sadiyah (2022), 131 dari total 575 legislator DPR hasil pemilu legislatif 2019 terafiliasi dinasti politik. Hasil penelitian Arya Fernandes (2024) dari CSIS juga menunjukkan bahwa 138 dari 580 anggota DPR hasil pemilu legislatif 2024 juga berlatar belakang dinasti. -
Eksekutif Nasional:
Kemenangan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia adalah salah satu bentuk suksesi dinasti langsung pada tingkat tertinggi pemerintahan di republik ini. Sebelumnya, Megawati Soekarnoputri memang pernah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia ke-8 dan kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia ke-5. Namun, yang membedakan dengan kemenangan Gibran adalah naiknya Megawati sebagai wakil presiden dan presiden terjadi lebih dari 30 tahun sejak Presiden Soekarno turun tahta.
Peta Persebaran Dinasti Politik di Indonesia
Politik dinasti tidak hanya terkonsentrasi di satu wilayah, melainkan menyebar hampir merata di seluruh Indonesia. Saat ini ada 227 daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang berada di bawah kekuasaan politisi dinasti. Beberapa wilayah dengan tingkat dinasti politik yang menonjol meliputi:
-
Banten
-
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara
-
Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan
-
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
Informasi lebih lengkap mengenai keberadaan dan persebaran dinasti politik di tingkat lokal dapat Anda lihat pada peta interaktif di beranda dinastipolitik.id
Mengapa Dinasti Politik Mudah Menyebar?
Ada beberapa alasan yang mendukung menyebarnya dinasti politik secara masif di Indonesia:
-
Modal Sosial dan Elektoral:
Nama keluarga besar memberikan keuntungan elektabilitas yang tinggi bagi anggota keluarga lain yang mencalonkan diri. -
Kekuatan Finansial dan Jaringan:
Keluarga politik yang sudah mapan memiliki sumber daya untuk mendanai kampanye dan menggalang dukungan. -
Pragmatisme Partai Politik:
Partai cenderung pragmatis dan memilih kandidat populer atau kuat secara finansial, bukan berdasarkan kualitas kaderisasi. -
Tiadanya Aturan Penghambat:
Saat ini tidak ada satupun aturan dalam tata kepemiluan kita yang dapat menghambat pencalonan kandidat dinasti. Indonesia sempat memiliki klausul yang menghambat terjadinya suksesi dinasti langsung, namun klausul tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2015. - Pemilih yang Tidak Serta Merta Menolak Politisi Dinasti:
Masih banyaknya politisi dinasti yang keluar sebagai pemenang pemilu mengindikasikan masih banyaknya pemilih yang tidak serta merta menolak politik dinasti. Berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2020, ketika ditanyakan “Jika Pilkada diadakan di kota/kabupaten/provinsi tempat Ibu/Bapak tinggal, terlepas dari kandidat lain, seberapa mungkin Ibu/Bapak akan memilih kandidat yang memiliki hubungan keluarga dengan petahana atau mantan Bupati/Walikota/Gubernur?” 24.9% responden memosisikan diri mereka pada angka 5 yang artinya mereka tidak serta merta menolak untuk memilih kerabat petahana atau mantan Bupati/Walikota/Gubernur. Lebih mengkhawatirkan lagi, 40.3% memosisikan diri mereka pada angka 6 hingga 10, yang artinya ada kecenderungan mereka akan memilih anggota keluarga petahana atau mantan Bupati/Walikota/Gubernur jika ada pilkada di daerah tempat mereka tinggal.
Apakah Politik Dinasti dan Dinasti Politik Ancaman Bagi Demokrasi?
Penyebaran dan peningkatan jumlah dinasti politik yang masif dapat menimbulkan masalah untuk menciptakan demokrasi yang sehat. Regenerasi politik yang berdasarkan meritokrasi dan kaderisasi partai akan mandek karena hilangnya insentif bagi kader partai yang sungguh-sungguh ingin membangun karir politik dari bawah. Mereka yang bekerja keras akan kalah bersaing oleh mereka yang “berdarah biru”.
Memang, tidak semua politisi dinasti buruk. Ada juga yang bekerja secara serius membangun daerah mereka. Namun, hal tersebut tidak menjawab permasalahan utama dalam menciptakan demokrasi yang sehat: bagaimana akses ke kompetisi elektoral benar-benar terbuka dan adil, sehingga kandidat dengan kualitas terbaik yang dicalonkan dalam pemilu, bukan semata karena mereka adalah anggota keluarga politik berpengaruh. Resiko penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan politik dinasti sangat besar. Demokrasi tidak melulu soal hasil, tapi yang paling penting adalah soal proses. Bagaimana kita dapat berharap hasilnya akan baik kalau proses naiknya seorang pemimpin dilakukan melalui proses yang tidak baik?
Penutup
Dinasti politik telah berkembang dalam skala besar dan menyebar luas di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Kita semua perlu lebih kritis dalam menggunakan hak pilih kita. Kita juga perlu terus mendorong pembaruan sistem politik agar kompetisi elektoral tidak makin disesaki oleh kandidat-kandidat “berdarah biru”.
Dinastipedia hadir sebagai ruang alternatif agar masyarakat dapat mengakses informasi faktual dan berpikir kritis terkait fenomena dinasti politik yang kini menjadi bagian nyata dari lanskap demokrasi kita.