Sejak kapan dinasti politik marak di Indonesia?

Keberadaan dinasti politik bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia. Namun,  kemunculannya secara masif, khususnya pada pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tergolong sebuah fenomena yang baru muncul dalam kurun 15 tahun belakangan.


Dinasti Politik di Masa Orde Baru: Dikekang oleh Sentralisasi Kekuasaan

Pada masa pemerintahan Orde Baru (1966–1998), kekuasaan sangat tersentralisasi di tangan Presiden Soeharto dan elite militer. Meski ada unsur kroni dan keluarga dalam pemerintahan, dinasti politik pada tingkat kepala daerah tidak berkembang secara luas. Kala itu, kepala daerah umumnya adalah purnawirawan, anggota militer aktif, atau birokrat yang sudah disetujui oleh Jakarta. Mereka sudah “difilter” sedemikian rupa sehingga potensi mereka untuk membangun basis politik yang kuat di daerah menjadi sangat kecil.


Pasca Reformasi: Desentralisasi dan Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung

Setelah kejatuhan Soeharto pada 1998, Indonesia memasuki era Reformasi yang membuka keran demokrasi, termasuk mengadopsi sistem pemilihan umum yang lebih terbuka dan desentralisasi kekuasaan (otonomi daerah). Sejak tahun 2005, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum kepala daerah langsung (pilkada).

Fenomena politik dinasti dan pembentukan dinasti politik adalah ekses dari desentralisasi dan pilkada langsung. Banyak politisi petahana yang tidak dapat mencalonkan diri kembali karena aturan batas masa jabatan kemudian mendorong keluarga dekat—seperti istri, anak, menantu, atau adik/kakak—untuk maju menggantikan mereka.

Namun, penting untuk dicatat bahwa maraknya politisi dinasti yang berkompetisi dalam pilkada bukan berarti Indonesia harus kembali ke sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD atau penunjukkan oleh pemerintah pusat. Maraknya kandidat dinasti dalam pilkada lebih disebabkan karena pragmatisme partai politik dan masih belum berkembangnya budaya demokrasi yang sehat di tingkat elite dan kemudian memengaruhi bagaimana masyarakat kemudian memilih pemimpinnya. Partai politik cenderung mengandalkan kekuatan personal kandidat dibandingkan program dan ideologi partai. Praktik jual-beli suara masih sangat masif. Kongkalikong antara politisi dan penyelenggara dan pengawas pemilu masih marak terjadi. Solusinya bukan dengan menghilangkan sistem pilkada langsung, namun penguatan kualitas demokrasi secara keseluruhan. Masyarakat harus mendorong partai politik menjadi lebih transparan dan akuntabel dalam proses seleksi dan promosi di dalam partai.

Demokrasi yang sehat membutuhkan masyarakat yang memiliki daya kritis untuk mendapatkan calon pemimpin yang benar-benar kompeten dan tanggap terhadap kebutuhan warganya.

Laporkan Dinasti di daerahmu !